3 Desember 2014

Teladan Kristus

” ..yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, . . . . . ”
Filipi 2:6-11
Setelah kita membaca ayat bacaan diatas tentunya kita menemukan karakteristik dari pikiran Kristus, khususnya yang tertulis dalam ayat ke 6, yaitu bahwa Tuhan Yesus tidak mempertahankan apa yang Dia miliki demi keselamatan umat manusia di muka bumi, khususnya bagi mereka yang percaya kepadaNya. Pada waktu Yesus datang ke dalam dunia, segala kemuliaanNya yang ada di surga telah ditinggalkannya, sedangkan Dia harus lahir sebagai bayi yang hina dan lemah. Semua ini dilakukan untuk mentaati kehendak Bapa. Ketika Yesus mulai bertumbuh dewasa Dia tidak pernah komplin atas keadaanNya, salah satunya adalah fasilitas sebagai pribadi yang mulia, tetapi Dia bertumbuh dalam kesederhanaan, seperti  yang dikatakan dalam Yesaya 53:2 : “Sebagai taruk ia tumbuh di hadapan TUHAN dan sebagai tunas dari tanah kering. Ia tidak tampan dan semaraknyapun tidak ada sehingga kita memandang dia, dan rupapun tidak, sehingga kita menginginkannya.”

Pada saat berada di Golgota untuk disalibkan Dia tidak pernah komplin terhadap segala apa yang sedang Dia alami, karena Dia sedang menjalani tahta kemuliaan dan keagungan yang akan diperoleh dari Bapa. Kalau kita memiliki pikiran Kristus maka kita tidak akan mempertahankan apa yang ada pada kita. Seandainya kita mendapatkan buah, maka janganlah kita makan beserta bijinya tetapi bijinya itu kita berikan untuk ditabur. Tetapi kenyataannya dalam kehidupan sehari-hari kita telah temukan banyak orang hanya mempunyai satu pikiran namun bukan pikiran Kristus, sehingga apa yang seharusnya diberikan kepada Bapa justru dimakan juga. Ada beberapa hal lain yang diminta oleh Bapa, diantaranya : talenta, waktu, tenaga, bahkan anak kita (seperti kisah daripada Abraham). Tetapi apabila kita memiliki pikiran Kristus, maka kita akan memberikan dengan hati yang tulus. Memang, untuk dapat melakukan hal tersebut tidak semudah apa yang kita katakan.

Kadang-kadang, keberhasilan, kekayaan maupun orang yang kita kasihi tiba-tiba diambil oleh Bapa, sedangkan kita belum siap akan hal tersebut. Untuk itu perlu ditanamkan dalam hati kita bahwa Allah tidak punya maksud jahat atas hidup kita, sebab firmanNya berkata : ”Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan” (Yeremia 29:11). Dan untuk memahami akan hal ini kita perlu banyak belajar dan mengalaminya. Karena tanpa kita mengalami secara pribadi maka firman yang kita terima hanya sebuah pengetahuan saja. Tetapi apabila firman itu kita terima dan kita alami (lakukan), maka kita dapat melihat bahwa firman Tuhan itu adalah hidup dan bukan sekedar kata-kata mati.

Bukankah hidup ini adalah perjuangan dan keberhasilan adalah suatu proses yang harus kita jalani. Tanpa adanya proses maka gol itu tidak akan kita peroleh. Demikian halnya dengan Yesus; sebelum dia ditinggikan dan dimuliakan, terlebih dahulu Dia harus mengalami proses yang begitu berat, dan tidak ada seorangpun dapat menanggungnya. Begitu pula dengan tokoh-tokoh Akitab yang lain, sebelum mereka mencapai pada puncak kejayaannya mereka mengalami proses yang begitu panjang dan menyakitkan, tetapi oleh karena mereka tetap fokus terhadap apa yang hendak mereka peroleh maka mereka tetap bertahan. Salah satu contoh tokoh Alkitab yang dapat kita ambil adalah kisah mengenai Yusuf, dimana Yusuf tahu bahwa nantinya ia akan menjadi seorang penguasa (di Mesir), tetapi pada saat ia dimasukkan ke dalam sumur maka ia tidak dapat berbuat apa-apa, dan seolah-olah visi yang hendak dicapai “putus di tengah jalan,” oleh sebab itu  ia sungguh-sungguh bergumul untuk tidak kuatir terhadap apa yang sedang ia alami, dan pada saat dia keluar dari sumur ia dijual oleh saudara-saudaranya untuk menjadi seorang budak, lalu setelah dijual ia difitnah oleh istri potifar selaku majikannya, kemudian ia harus masuk ke dalam penjara, dan pada akhirnya ia menjadi penguasa di Mesir.
Meskipun pada akhirnya ia menjadi penguasa di Mesir, tetapi ia harus melalui perjalanan yang cukup panjang dan penuh pergumulan. Mungkin saat ini kita tidak melihat apa-apa, dan seolah-olah kita menghadapi jalan buntu, namun percayalah bahwa Tuhan adalah sutradara kita yang akan membawa kita pada kebahagiaan. Apabila saat ini kita sedang menghadapi pergumulan yang begitu berat menurut ukuran kita maka percayalah bahwa Allah turut bekerja dalam segala hal untuk mendatangkan kebaikan dan Dia membuat segala sesuatu indah pada waktunya. Dan yakinlah bahwa pencobaan-pencobaan yang kita alami adalah pencobaan biasa yang tidak melebihi kekuatan kekuatan kita, sehingga kita dapat menanggungnya asalkan kita tidak tawar hati, sebab firman Tuhan menasehatkan, “Jika engkau tawar hati pada masa kesesakan, kecillah kekuatanmu” (Amsal 24:10). Jadi yang menjadi ukuran besar atau kecilnya suatu permasalahan tergantung sikap hati kita. Apabila kita tawar hati maka kita merasakan bahwa persoalan itu sangat berat tetapi jikalau kita tidak tawar hati maka kita sanggup menghadapi segala persoalan.

Selanjutnya kita belajar lagi mengenai pikiran Kristus seperti yang tertulis pada ayat 7, ”melainkan telah mengosongkan diriNya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.” Disini kita dapat menemukan bahwa pikiran Kristus itu bukan hanya tidak mempertahankan apa yang diminta oleh Bapa tetapi memiliki pikiran atau hati seorang hamba. Kalau kita memiliki pikiran Kristus maka kita harus memiliki sikap seorang hamba dihadapan Allah. Orang yang mengenakan pikiran Kristus pasti akan melayani, tetapi orang yang melayani belum tentu mengenakan pikiran Kristus. Karena berapa banyak orang yang terlibat dalam pelayanan memiliki karakter seperti boss, segala sesuatu “main perintah” dan merasa dibutuhkan. Menganggap orang lain lebih rendah dibanding dengan dirinya. Bukankah firman Tuhan menasehatkan, ”Barangsiapa terbesar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu” (Matius 23:11).

Saudara, selain kita memiliki hati seorang hamba kita harus memiliki pikiran yang merendah, seperti yang tertulis dalam Filipi 2:8, “Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diriNya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.” Pikiran Kristus adalah pikiran yang merendah. Orang yang mengenakan pikiran Kristus akan merendah tetapi bukan memiliki pikiran yang rendah. Sebab firman Tuhan menasehatkan, ”Dan barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan” Pikiran yang merendah itu mengakui bahwa tanpa turut campur tangan Tuhan maka kita tidak dapat berbuat apa-apa, karena segala sesuatu itu karena anugerah. Selain itu kita harus taat sampai mati seperti Tuhan Yesus. Amin.
Sumber: http://www.bethanygraha.org

0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cna certification