Mengalami Kerajaan Allah Di Bumi
Written by Multimedia Bethany Graha
“Lalu orang membawa anak-anak kecil kepada Yesus, supaya Ia
menjamah mereka; akan tetapi murid-murid-Nya memarahi orang-orang itu.
Ketika Yesus melihat hal itu, Ia marah dan berkata kepada mereka:
"Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan menghalang-halangi
mereka, sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan
Allah.
Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa tidak menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil, ia tidak akan masuk ke dalamnya." Lalu Ia memeluk anak-anak itu dan sambil meletakkan tangan-Nya atas mereka Ia memberkati mereka.”
(Markus 10:13-16)
Tuhan Yesus memiliki kerinduan yang besar terhadap semua umat
pilihanNya untuk dapat mengalami apa yang disebut dengan kehidupan dalam
Kerajaan Allah; dan kerinduan tersebut bukan saja dialami nanti pada
waktu kita bertemu dengan Tuhan, namun kita juga mengalami di bumi.
Sedangkan ukuran bahwa seseorang mengalami kerajaan Allah itu tidak
dapat diukur melalui banyaknya materi, mewahnya rumah, mobil atau
tingginya kedudukan/jabatan maupun tingginya status sosial dalam
masyarakat, melainkan dapat diukur dari sukacita dan damai sejahtera
oleh Roh Kudus (Roma 14:7).Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa tidak menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil, ia tidak akan masuk ke dalamnya." Lalu Ia memeluk anak-anak itu dan sambil meletakkan tangan-Nya atas mereka Ia memberkati mereka.”
(Markus 10:13-16)
Untuk itu kita perlu tahu bagaimana caranya kita bisa mengalami Kerajaan Allah di bumi, yaitu menjadi seperti anak kecil. Mengapa harus menjadi seperti anak kecil? 2 Korintus 11:3 mengatakan, “Tetapi aku takut, kalau-kalau pikiran kamu disesatkan dari kesetiaan kamu yang sejati kepada Kristus, sama seperti Hawa diperdayakan oleh ular itu dengan kelicikannya.” Lawan dari licik adalah kesederhaan/ “simple” (tidak licik). Yudas Iskariot merupakan gambaran sebagai orang yang licik. Hal ini tampak ketika Yesus berada di Taman Getsemani menjelang kematianNya; Yudas telah mencium gurunya (Tuhan Yesus). Tetapi dibalik semuanya itu, ada niat jahat yang tersimpan di hati Yudas, yaitu menjual Yesus. Yudas Iskariot memiliki “muka” atau tindakan yang berbeda dengan “belakangnya.” atau isi hatinya. Hal yang demikian bukankah sering kita jumpai di kalangan orang-orang yang mengaku dirinya pengikut Kristus ?, atau bahkan pernah maupun sedang kita lakukan saat ini. Jikalau saat ini kita bersikap demikian, maka kita tidak mendapatkan Kerajaan Allah. Tuhan ingin supaya kita memiliki hati yang murni di hadapanNya.
Bukan hanya itu saja, Amsal 9:9 berkata, “berilah orang bijak nasihat, maka ia akan menjadi lebih bijak, ajarilah orang benar, maka pengetahuannya akan bertambah.” Kalau kita memperhatikan sikap seorang anak, maka kita tidak hanya menemukan sikap yang polos atau sederhana saja, tetapi mereka juga mau untuk diajar. Dan apabila kita lihat dalam kenyataannya, seberapa banyak diantara kita yang percaya kepada Yesus mau membuka hati untuk menerima pengajaran dari Tuhan melalui penyampaian Firman Tuhan maupun membaca firman Tuhan sendiri. Oleh karena itu, milikilah roh yang mudah untuk diajar agar kita bisa menikmati Kerajaan Allah di muka bumi ini. Kalau kita membuka pendengaran kita untuk Firman Tuhan, maka Tuhan sendiri akan memberikan rhema kepada kita. Sebab dalam firman Tuhan juga dikatakan “Jadi, iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus” (Roma 10:17)
Selanjutnya, Amsal 3:5-7 berkata, “Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu. Janganlah engkau menganggap dirimu sendiri bijak, takutlah akan TUHAN dan jauhilah kejahatan.” Kata percaya kepada Tuhan dengan segenap hati dapat digambarkan dalam kehidupan sehari-hari sebagai suatu hubungan antara anak dan bapak. Dimana anak kecil memiliki kelebihan, yaitu kepercayaan yang penuh kepada ayahnya. Demikian juga, kita seharusnya percaya kepada Tuhan Yesus dengan sepenuh hati tanpa ada alasan-alasan yang justru menghalangi kuasa Tuhan untuk bekerja dalam kehidupan kita. Kita memiliki Bapa yang sangat kaya, sehingga kalau kita percaya, maka kita tidak akan dipermalukan. Dan orang yang percaya sepenuhnya kepada Tuhan Yesus akan mengalami Kerajaan Allah di bumi ini, sehingga hidupnya di bumi ini tidak menjadi sia-sia, tetapi menjadi berkat bagi orang lain.
Matius 6:12 berkata, “dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami.” Seorang anak kecil akan mudah untuk mengampuni. Misalnya, setelah mereka habis berkelahi, maka tidak lama kemudian mereka akan “baikan” kembali dan melupakan kejadian yang baru saja mereka lakukan. Terlebih itu, di hati mereka tidak ada perasaan dendam seperti halnya yang dilakukan oleh orang-orang dewasa. Dan perlu kita ingat, bahwa pada ayat berikutnya yaitu ayat 15 menegaskan, “jikalau kita tidak mengampuni orang, maka Bapa kita di sorga tidak akan mengampuni kesalahan kita”. Saudara, jikalau seseorang tidak mendapat pengampunan dari Tuhan maka orang tersebut tidak layak masuk dalam kerajaan sorga. Sedangkan orang yang memiliki kasih khususnya mudah mengampuni akan mengalami Kerajaan Allah. Dan jikalau kita menyimpan dendam/kebencian, maka justru hal itu akan menyengsarakan diri kita sendiri. Orang yang menaruh kebencian adalah orang yang belum pindah dari maut. Yudas Iskariot mengalami kebinasaan karena tidak memiliki kasih (1Yohanes 3:14). Untuk itu, kita harus memiliki kasih. Lalu, bagaimana kita tahu, apakah kita memiliki kasih atau tidak? Yaitu melalui sikap, perkataan dan perbuatan. Saat ini kita dipanggil bukan untuk menjadi petarung satu dengan yang lainnya, tetapi menjadi pengasih untuk satu dengan yang lainnya. Memang, untuk mengaplikasikan kasih seperti yang difirmankan Tuhan itu tidak mudah, tetapi apabila kita ada kemauan dan tindakan maka kita sanggup menyatakan kasih dalam kehidupan sehari-hari. Sebab pada dasarnya Kekristenan itu identik dengan apa yang disebut dengan “Kasih.”
Yohanes 14:15 berkata, “Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah-Ku.” Seorang anak kecil pasti sangat responsif dalam pengertian bahwa mereka sangat tanggap terhadap apa yang diajarkan, karena semua itu didasari oleh kepolosan atau kesederhanaanya. Sedangkan apabila kita melihat contoh seseorang yang tidak responsif adalah istri Lot. Dimana saat mereka diperingatkan ia tidak meresponi akan peringatan tersebut sehingga pada akhirnya ia menjadi tiang garam. Oleh karena itu, biarlah kita memiliki sikap yang responsif terhadap apa yang dikatakan Tuhan, dan jangan sampai kerohanian kita jauh tertinggal dari orang-orang percaya lainnya, supaya keadaan seperti yang tertulis dalam Matius 19:30 tidak terjadi dalam kehidupan kita. Amin.
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.