Zakheus di antara Yesus dan Ahli Taurat
Sumber: http://renungan-harian-online.blogspot.com/Ayat bacaan: Lukas 19:7
====================
"Tetapi semua orang yang melihat hal itu bersungut-sungut, katanya: "Ia menumpang di rumah orang berdosa."
Semua orang ingin terus lebih baik lagi dari hari ke hari. Terus belajar dan mendalami Firman Tuhan, menjauhi kejahatan, menghindari berbuat dosa dan menjaga kekudusan, terus berubah menjadi semakin baik, itu semua tentu saja sangat baik untuk dilakukan. Jika itu sudah atau sedang anda lakukan hari ini maka anda sedang terus semakin mendekati dan mencerminkan pribadi Kristus. Tetapi berhati-hatilah, karena di balik proses itu apabila kita tidak hati-hati maka kita bisa dengan gampang dirasuk dosa kesombongan. Kita bisa terjerumus ke dalam sebuah perasaan yang menganggap diri kita paling suci, paling bersih, paling benar dan kemudian merasa punya hak untuk menghakimi orang lain. Kita bisa menjadi orang yang merasa diri paling sempurna dan dengan cepatnya menjatuhkan "vonis" kepada orang lain. Jika dibiarkan, maka kita pun akan menjadi komentator-komentator cerewet yang penuh kesinisan dan kenegatifan. Si A berdosa ini, si B dosanya itu, gereja itu sesat, gereja ini tidak benar dan sebagainya. Begitu mudahnya kita memvonis orang, bahkan dengan berani menyatakan siapa yang ke surga atau neraka. Semakin banyak yang kita kritik maka rasanya semakin hebat pula diri kita. Bahkan di kalangan hamba-hamba Tuhan gejala seperti inipun bisa saja terjadi. Ini bukanlah hasil yang diharapkan dari sebuah pertobatan dan usaha menguduskan diri. Alih-alih menjadi garam dan terang dunia, kita malah bisa terperangkap dalam sikap yang cenderung menjauhi mereka yang sebetulnya sedang butuh pertolongan agar tidak binasa. Dan disisi lain itu sama saja seperti kita sedang membinasakan diri sendiri.
Terjebak dalam sikap merasa diri paling berhak, layak dan benar ini sudah dipertontonkan sejak lama oleh para orang Farisi. Mereka ini adalah tokoh-tokoh pemuka agama yang berhak memutuskan segala sesuatu, haram dan halal pada masa itu. Mereka merasa superior karena mengetahui dan hafal terhadap hukum Taurat dan menganggap diri mereka sebagai representatif Tuhan di muka bumi ini, sehingga merasa punya hak untuk menghakimi orang lain sesuai pendapat atau keinginan mereka. Orang-orang Yahudi pun sama saja, mengikuti sikap yang salah dari para pemimpin agama mereka ini. Sementara di sisi lain, Yesus datang ke muka bumi ini justru untuk menyelamatkan domba-domba yang hilang, atau sebagai tabib yang menyembuhkan orang sakit, seperti apa yang dikatakan Yesus dalam Lukas 5:31, "Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit." Dan Yesus tidak pandang bulu dalam menyelamatkan orang. Ia bertemu dan bersinggungan dengan begitu banyak orang dengan latar belakang yang berbeda-beda dan masalah berbeda-beda, tetapi semua sama layaknya untuk menerima keselamatan, karena Tuhan mengasihi semua manusia tanpa terkecuali. Dia tetap membuka kesempatan untuk bertobat bagi siapapun tanpa menimbang terlebih dahulu berat ringannya dosa atau pantas tidaknya seseorang untuk diselamatkan. Antara orang Farisi dan Yesus terdapat perbedaan yang sungguh nyata mengenai sikap dalam menghadapi orang berdosa.
Salah satu contoh nyata yang menggambarkan perbandingan kontras mengenai sikap atau cara pandang antara Farisi dan Yesus ini bisa kita lihat dalam kisah perjumpaanNya dengan Zakheus sang pemungut cukai. Sosok Zakheus cukup jelas digambarkan di dalam Alkitab: "Di situ ada seorang bernama Zakheus, kepala pemungut cukai, dan ia seorang yang kaya. Ia berusaha untuk melihat orang apakah Yesus itu, tetapi ia tidak berhasil karena orang banyak, sebab badannya pendek." (Lukas 19:2-3). Zakheus yang berbadan pendek ini adalah seorang pemungut cukai yang kaya. Pada masa itu orang Yahudi terutama para ahli Taurat menggolongkan para pemungut cukai ini sebagai orang berdosa. Dicap sampah masyarakat, pendosa, bahkan digolongkan dalam satu kelas bersama orang lalim, penzinah dan perampok (Lukas 18:11). Para pemungut cukai ini biasanya dicemooh dan dipandang hina, bahkan uang mereka tidak diterima sebagai persembahan. Zakheus ada dalam kelompok ini. Tapi sepertinya Zakheus punya kerinduan yang sangat besar untuk dapat bertemu Yesus yang ia idolakan. Sayang badannya pendek, sehingga sulit baginya untuk bisa melewati orang-orang lain yang berpostur lebih tinggi darinya. Tapi ia tidak menyerah, ia pun berusaha sedemikian rupa dengan memanjat pohon ara. (Lukas 19:4). Usahanya berhasil. "Ketika Yesus sampai ke tempat itu, Yesus melihatnya dan berkata: "Zakheus, segeralah turun, sebab hari ini Aku harus menumpang di rumahmu." (ay 5). Bisa dibayangkan betapa terkejutnya Zakheus. Tidak saja melihat dan berbicara kepadanya, tapi Yesus bahkan berkenan untuk masuk dan menumpang dirumahnya. Tentu saja hal ini disambut Zakheus dengan sukacita. Tapi lihatlah apa yang dikatakan kerumunan orang Yahudi dan orang-orang Farisi. "Tetapi semua orang yang melihat hal itu bersungut-sungut, katanya: "Ia menumpang di rumah orang berdosa." (ay 7). Mereka beranggapan bahwa Zakheus itu sangat hina sehingga Yesus seharusnya tidaklah pantas sama sekali untuk mendatangi rumah orang sehina dia. Kontroversial? Jelas. Tapi perhatikanlah bahwa cara pandang mereka ini sesungguhnya menutup pintu dari orang lain yang berkesempatan untuk diselamatkan. Mereka hanya dengan mudah menghakimi dan memberi cap tanpa mau berbuat apa-apa. Apa yang terjadi kemengharukangguh luar biasa. Tuhan Yesus menganugerahkan keselamatan kepada Zakheus sebagai buah pertobatannya. Bukan saja kepada diri Zakheus sendiri, namun seluruh anggota keluarganya pun turut diselamatkan. Yesus pun menutup jawaban terhadap protes kerumunan orang-orang yang merasa lebih benar ini dengan "Sebab Anak Manusia datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang." (ay 10).
Dari kisah ini, siapa yang ingin kita teladani? Yesus atau para ahli Taurat dan orang-orang Yahudi yang merasa dirinya sudah lebih baik dari orang lain? Adakah hak kita memvonis atau menjatuhkan penghakiman terhadap orang lain dan merasa kita lebih hebat dari mereka? Kalau Yesus saja mengasihi tanpa pandang bulu dan memberi kesempatan yang sama bagi siapapun untuk bertobat tanpa menimbang berat ringannya dosa yang pernah dibuat, siapalah kita yang merasa jauh lebih berhak untuk menilai orang lain dan menentukan kemana mereka nanti bakal ditempatkan. Tanpa sadar manusia sering membanding-bandingkan diri mereka dengan orang lain, mencari-cari kesalahan orang lain agar diri mereka terlihat hebat. Itu bukanlah cerminan pribadi Kristus. Membuang muka, mencibir, menghina, menjaga jarak juga merupakan bentuk-bentuk penghakiman yang seharusnya bukan menjadi hak kita. Padahal mungkin Tuhan memberi kesempatan kepada mereka untuk berbalik kembali ke jalan yang benar lewat kita. Dengan sikap yang salah, kita pun menyia-nyiakan kesempatan untuk menjadi berkat bagi mereka yang butuh pertolongan.Kita gagal untuk memenangkan jiwa bagi Kerajaan Allah dan dengan demikian gagal untuk melakukan tugas yang telah diamanatkan oleh Yesus sendiri.
Ingatlah bahwa perkara menghakimi adalah mutlak milik Tuhan. "Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi. Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu." (Matius 7:1-2). Yesus datang justru untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang, dan kepada kita pun telah diberikan amanat agung disertai pesan untuk menjadi terang dan garam di dunia ini. Semua itu tidak akan pernah bisa kita laksanakan apabila kita masih memiliki hati yang angkuh yang merasa berhak menghakimi, menilai, mencap, atau memvonis orang lain sesuka kita. Oleh karena itu, jauhilah perilaku seperti para ahli Taurat dan orang-orang Yahudi yang merasa diri mereka begitu benar sehingga layak untuk menghakimi dan menjauhi orang lain. Seperti Yesus yang tetap mengasihi dan mau mengulurkan tanganNya, kasihilah mereka, karena mereka pun layak beroleh kesempatan untuk selamat!
Jangan menghakimi agar tidak dihakimi
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.