Menanggapi Firman Tuhan dengan Sepenuhnya
Sumber: http://renungan-harian-online.blogspot.com/Ayat bacaan: Yohanes 1:12
=========================
"Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya"
Sulitkah mengajar anak yang bandel? Tanyakan kepada sepupu saya, maka ia akan langsung bercerita panjang lebar bagaimana lelahnya dia setiap hari mengasuh anaknya. Ketiganya masih balita dengan kenakalan yang kurang lebih sama. Mereka akan berlari kesana kemari. Meleng sedikit saja sesuatu bisa terjadi pada mereka. Kemarin ketika kami makan siang bersama, ketiga anaknya saling berebutan sendok dan garpu lalu melemparkannya ke segala arah. Lalu salah satu terjatuh dan langsung menangis keras. Sepupu saya pun menghampiri anaknya dan berkata, "itulah, siapa suruh bandel? Lain kali dengar kata-kata mama supaya kamu tidak jatuh dan sakit.." Semua orang tua akan senang sekali jika anak-anak mereka mau mendengarkan nasihat mereka. Masalahnya, sebagai anak kita sebenarnya mendengar, namun hanya sedikit yang patuh dan mau menurutinya. Telinga kita mendengar, namun sikap, tindakan dan perbuatan kita sama sekali tidak mencerminkan apa yang kita dengar. Dan akibatnya, ada banyak kerugian yang akan kita alami berawal dari ketidak-acuhan kita terhadap petuah atau nasihat orang tua.
08.41
Vincent utomo
Posted in:
Salah satu penemuan terbesar bagi saya adalah bola lampu dan listrik. Bayangkan bagaimana hidup tanpa kedua unsur ini, terutama bagi orang seperti saya yang menghabiskan sebagian besar waktu dengan perangkat-perangkat elektronik dalam pekerjaan saya sehari-hari. Betapa terbantunya kita untuk bekerja di malam hari dengan adanya lampu. Tanpa adanya penerangan seperti ini tentu akan sangat sulit bagi kita untuk melakukan pekerjaan di saat tidak ada cahaya matahari lagi untuk membantu kita melihat dalam terang. Karena itulah saya sangat bersyukur kepada kegigihan seorang penemu bernama Thomas Alva Edison. Baik sadar atau tidak, kita harus mengakui betapa tergantungnya kita pada lampu dalam kehidupan sehari-hari.
Pernahkah anda berpikir betapa enaknya jika ada alarm yang bisa berbunyi nyaring tepat sebelum kita melakukan sebuah kesalahan? Teman saya kemarin mengatakan hal itu sambil tertawa. Betapa sulit katanya untuk selalu ingat mana yang baik dan tidak, selalu saja ada godaan untuk lupa terhadap garis batas yang telah ditetapkan Tuhan dalam hidup ini. Ketika sesuatu terlihat nikmat, maka sikap memberi toleransi terhadap dosa pun bisa kita berikan dengan luwes. Oleh karena itulah teman saya berkata bahwa hidup pasti jauh lebih mudah apabila ada alarm yang akan berbunyi nyaring apabila kita mulai berpikir untuk berbuat dosa. Apakah memang tidak ada? Sebenarnya ada. Selain Roh Kudus yang akan selalu mengingatkan kita dalam setiap langkah, selain pagar Firman Tuhan yang akan berfungsi banyak untuk membantu kita menjaga batas-batas perjalanan agar tetap berada dalam koridor yang benar, Tuhan pun sebenarnya telah memberikan sesuatu dalam diri kita yang bisa berfungsi sebagai alarm awal untuk menghindari dosa, sesuatu yang Dia beri dalam hati kita. Kita mengenalnya dengan sebutan hati nurani.
Hari ini saya teringat kepada seorang teman lama yang bercerita bahwa ia sudah dibiasakan bekerja di toko ayahnya sejak masih duduk di sekolah dasar. Pada usia seperti itu ia sudah terbiasa melayani pembeli dan sudah tau mengembalikan uang. Ketika masuk SMP ia sudah bisa menghafal harga-harga dari barang di toko, dan setelah ia tamat kuliah, ia pun melanjutkan usaha ayahnya hingga ke level yang lebih besar dengan beberapa cabang di tempat lain. Mungkin agak ekstrim bagi kita ketika melihat anak sekecil itu sudah diajar bekerja, itu kembali kepada masing-masing orang. Namun satu hal yang saya ingat selalu dikatakan oleh teman saya itu adalah pesan ayahnya berulang-ulang agar ia menjadi pekerja keras dan tidak bermental pengemis. Saya tidak menutup kemungkinan bahwa ada sebagian orang yang tidak bisa melakukan apa-apa lagi padahal ia butuh makan setiap hari. Mau tidak mau mereka terpaksa mengemis. Di tengah kondisi dunia yang sulit seperti ini hal seperti itu mungkin saja terjadi. Tetapi kita tidak bisa menutup mata bahwa ada banyak pula orang yang seharusnya mampu melakukan sesuatu tetapi mereka malas untuk itu. Mereka lebih suka pergi ke saudara atau teman-temannya untuk meminta. Mereka tidak mau repot dan lebih memilih cara yang gampang atau instan. Inilah yang disebut dengan mental pengemis. Dan mental seperti ini seharusnya tidak menjadi bagian dari gaya hidup kita.
Apakah anda termasuk orang yang hobi curhat? Jika ya, anda termasuk salah satu dari banyak orang yang tidak suka memendam masalah di dalam hati. Saya pun termasuk orang yang demikian. Ketika ada masalah yang mengganggu pikiran, maka sayapun akan segera membicarakannya dengan orang-orang terdekat, seperti kepada istri saya misalnya, atau sahabat yang bisa saya percaya. Setelah dibicarakan, ada solusi atau tidak biasanya hati akan terasa lebih lapang. Psikolog pun menggunakan cara seperti ini untuk membantu orang-orang yang mengalami gangguan pikiran atau perasaan. Curahan hati dan perasaan biasanya tidak kita tumpahkan kepada semua orang, karena biasanya menyangkut masalah pribadi. Cukuplah orang-orang yang kita percaya dan kenal sangat dekat saja yang mendengar. Jika kita sembarangan bercerita, bukan saja respon yang datang malah bisa melemahkan, atau bisa pula semua yang kita ceritakan akan disebarkan kemana-mana. Bukannya melegakan malah menambah masalah. Kepada orang terdekat pun sebenarnya curhat tidaklah 100% efektif. Bisa jadi mereka tengah sibuk, pikirannya sedang fokus kepada hal lain, atau mereka sedang kecapaian dan sedang tidak mood untuk mendengar keluh kesah kita. Bagaimana pula dengan orang yang tidak mempunyai sahabat dekat? Apakah tidak ada satupun lagi yang bisa diharapkan untuk mendengar keluh kesah kita? 
