Di Puncak Gunung
Sumber: http://renungan-harian-online.blogspot.com/Ayat bacaan: Habakuk 3:19
=================
"ALLAH Tuhanku itu kekuatanku: Ia membuat kakiku seperti kaki rusa, Ia membiarkan aku berjejak di bukit-bukitku."
Seorang teman yang hobi mendaki gunung bercerita tentang pengalaman-pengelamannya dalam mendaki bersama klub pecinta alamnya. Ia berverita bahwa proses mendaki itu begitu melelahkan dan berat. Oksigen bisa tipis sekali di ketinggian sehingga bernafas bisa menjadi sangat sulit. Jalan yang dituju mendaki, berbatu-batu dan terkadang sangat terjal, belum lagi terkadang harus memanjat dan harus siap menghadapi banyak resiko binatang buas dalam perjalanan. Sama sekali tidak mudah untuk bisa mencapai puncak gunung katanya. Bagi orang yang memiliki masalah dengan pernafasan seperti asma atau rasa takut akan ketinggian, mendaki gunung sedikit saja sekalipun bisa jadi hal yang tersulit untuk dilakukan. Tetapi ia kemudian berkata, begitu sampai ke puncak gunung, pemandangan yang luar biasa indah membuat semua kesulitan itu tidak lagi berasa apa-apa. "Begitu menakjubkan..pesonanya luar biasa, dan itu tidak dilihat oleh semua orang. Hanya yang mau bersusah payah mendakilah yang bisa menikmatinya." katanya bangga. Di puncak gunung ia lupa akan kesusahan mendaki dan segala sakit yang ia rasakan. Di puncak gunung ia melihat sebuah keindahan yang tidak dilihat oleh semua orang. Di puncak gunung, ia bisa merasakan kemuliaan Tuhan, bahkan mungkin memandang dari sebuah jarak pandang atas seperti apa yang dilihat Tuhan ketika Dia memandang ciptaan-ciptaanNya di dunia ini.Sebuah pelajaran saya dapatkan dari ceritanya, yaitu jika kita tidak mendaki gunung, maka kita tidak akan bisa merasakan pengalaman yang luar biasa, tidak akan bisa menikmati sebuah pemandangan yang sangat langka yang tidak bisa dilihat oleh orang lain. Apa maksudnya? Saya berpikir bahwa dalam perjalanan hidup kita, ada kalanya kita akan berhadapan dengan bukit-bukit terjal, jalan berbatu-batu yang akan sangat sakit untuk kita jalani. Kita bisa memilih apakah tetap ditempat tanpa mau berjalan melewatinya, atau kita mencoba sedikit lalu mundur, atau malah mengelak. Tetapi seperti apa yang dialami oleh teman saya, hanya yang mampu bertahan dan dengan semangat pantang mundurlah yang akan mampu berdiri tegak di atas bukit merasakan kemuliaan Tuhan. Kabar baiknya, Tuhan siap membantu kita untuk itu. Yang diperlukan hanyalah kemauan dan kesediaan kita, serta sejauh mana kita bisa percaya kepada Tuhan bahwa Dia akan menuntun kita melewati jalan-jalan yang sulit itu untuk akhirnya kelak sampai di atas bukit.
Lihatlah Firman Tuhan dalam Habakuk. "ALLAH Tuhanku itu kekuatanku: Ia membuat kakiku seperti kaki rusa, Ia membiarkan aku berjejak di bukit-bukitku." (Habakuk 3:19) Sebuah ayat yang kurang lebih sama bisa kita dapatkan dalam Mazmur. "Allah, Dialah yang mengikat pinggangku dengan keperkasaan dan membuat jalanku rata; yang membuat kakiku seperti kaki rusa dan membuat aku berdiri di bukit." (Mazmur 18:34). Mengandalkan kemampuan kita yang terbatas, cepat atau lambat kita akan menyerah dalam berjuang melewati jalan terjal dan berbatu-batu. Tapi lihatlah bahwa Tuhan selalu siap menyediakan pertolongan. Tuhan mampu membuat kaki-kaki kita menjadi lincah seperti rusa yang mampu melewati atau melompati jalan-jalan berbatu dan terjal untuk sampai ke puncak gunung. Tuhan mau kita naik lebih tinggi mengatasi masalah dan keluar menjadi pemenang, merasakan keindahan, kemurahan dan kemuliaanNya yang semua telah tersedia di atas sana.
Dalam Yesaya dikatakan di tempat tinggi itulah rumah Tuhan akan berdiri tegak, bukan terhuyung-huyung dan mudah jatuh ketika diterpa badai. "Akan terjadi pada hari-hari yang terakhir: gunung tempat rumah TUHAN akan berdiri tegak di hulu gunung-gunung dan menjulang tinggi di atas bukit-bukit; segala bangsa akan berduyun-duyun ke sana, dan banyak suku bangsa akan pergi serta berkata: "Mari, kita naik ke gunung TUHAN, ke rumah Allah Yakub, supaya Ia mengajar kita tentang jalan-jalan-Nya, dan supaya kita berjalan menempuhnya; sebab dari Sion akan keluar pengajaran dan firman TUHAN dari Yerusalem." (Yesaya 2:2-3).Lihatlah bahwa berada di tempat tinggi di atas bukit menjanjikan sebuah tempat dimana masalah tidak lagi mampu menyulitkan kita. Rumah Tuhan atau Bait Allah berbicara mengenai diri kita sendiri, seperti yang tertulis dalam 1 Korintus 3:16. Disana kita bisa melihat bahwa Tuhan menyediakan pertolongan untuk memampukan kaki kita menjadi lincah, melompat melewati berbagai masalah dan berdiri tegak di atas gunung menikmati segala kemuliaanNya.
Firman Tuhan mengajarkan kita bahwa ujian-ujian yang berat jika kita sikapi dengan benar akan mampu membuat iman kita bertumbuh dan naik lebih tinggi lagi. Paulus mengatakan: "Dan bukan hanya itu saja. Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan. Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita." (Roma 5:3-5). Firman Tuhan mengingatkan kita agar jangan menjadi lemah ketika mengalami kesengsaraan, ketika berjalan di jalan berbatu tajam dan terjal. Kita diingatkan agar tidak putus asa, dan terus bertekun, karena jika kita ingin memenangkan ujian, kita harus bisa melepaskan segala yang merintangi kita dan dosa-dosa yang menjerat kita. Penulis Ibrani berkata: "Karena kita mempunyai banyak saksi, bagaikan awan yang mengelilingi kita, marilah kita menanggalkan semua beban dan dosa yang begitu merintangi kita, dan berlomba dengan tekun dalam perlombaan yang diwajibkan bagi kita." (Ibrani 12:1). Lalu serahkan semuanya kepada Tuhan. Dia siap membuat kaki-kaki kita menjadi lincah agar sanggup melompati bebatuan hingga sampai ke puncak gunung. Disana kita bisa tetap tegar meski digoyang masalah seberat apapun. Masalah mungkin akan tetap ada, tetapi di puncak itu kita akan berada lebih tinggi dari masalah. Segala sakit dan beban selama perjalanan yang ditempuh akan sirna begitu kita menyaksikan keindahan kemuliaan Tuhan. Tuhan siap menolong kita untuk itu, sudahkah kita mempercayakan langkah kita kepadaNya? Sudahkah kita memiliki niat yang teguh untuk naik lebih tinggi lagi? Sekarang saatnya bagi kita untuk mendaki dengan bantuan Tuhan. Kelak ketika kita berada lebih tinggi dari kesengsaraan, kita tidak akan gampang lagi digoyang oleh masalah apapun. Disanalah kita bisa berkata: "Sekalipun pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah, hasil pohon zaitun mengecewakan, sekalipun ladang-ladang tidak menghasilkan bahan makanan, kambing domba terhalau dari kurungan, dan tidak ada lembu sapi dalam kandang, namun aku akan bersorak-sorak di dalam TUHAN, beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan aku." (Habakuk 3:17-18)
Tuhan siap membantu kita menjadi lincah hingga mampu berdiri tegak di atas bukit
20.05
Vincent utomo
Posted in:
Betapa mudahnya mendapat teman di kala senang, tetapi begitu sulit mencari seorangpun dikala susah. Itu dialami begitu banyak orang, dan saya pun pernah mengalaminya. Ketika kita sedang sukses, orang pun berdatangan dengan sanjungan-sanjungannya, tidak jarang pula mereka membawa buah tangan dan menunjukkan sikap sangat manis. Tetapi ketika kita terjatuh, perlahan tapi pasti mereka pun mulai menjauh meninggalkan kita. Seorang artis senior pernah bercerita mengenai pengalamannya akan hal ini kepada saya. "Habis manis sepah dibuang", katanya. Jangankan menolong, untuk mengenal saja mereka sudah enggan. Betapa bedanya perilaku mereka dahulu ketika saya masih di atas dengan saat ini ketika saya sudah tidak ada apa-apanya lagi. Miris memang, tetapi begitulah perilaku banyak manusia yang hanya baik ketika ada sesuatu yang menguntungkan bagi dirinya. Tidak tertutup kemungkinan kita pun pernah atau bahkan masih menunjukkan sikap seperti itu. Ketika telepon seluler berdering, kita akan melihat dahulu siapa yang menghubungi, dan akan memilah-milah yang mana yang mau dijawab, mana yang mau diabaikan, atau dijawab seadanya saja dengan dingin. Maka ada istilah pilih kasih, tergantung standar kita, tergantung ukuran kita.
Hidup dari panggung ke panggung lainnya meliput berbagai acara musik selama beberapa tahun membuat saya memperoleh begitu banyak kisah yang jarang dipublikasikan orang. Saya bertemu berbagai macam artis dengan segala tingkah polah masing-masing. Ada yang ramah dan bersahabat, ada yang pintar berbasa-basi, ada pula yang cuek bahkan angkuh. Ada yang mau terbuka bercerita apa saja, ada yang lekas curiga. Ketenaran bukanlah alat ukur untuk sombong tidaknya seseorang, karena secara umum artis-artis yang sudah makan garam selama puluhan tahun justru sangat ramah dan bersahabat. Salah seorang artis senior yang pasti anda kenal baik jika saya sebut namanya bercerita bahwa ia kecewa melihat perilaku banyak artis muda saat ini. Mereka arogan, gampang memandang rendah orang lain bahkan dengan tidak segan-segan berani memerintah orang yang lebih senior dari mereka. Ada banyak diantara mereka, katanya, yang tidak mau merapikan alat musiknya sendiri dan hanya melenggang keluar dari panggung begitu pertunjukan selesai. Honor sangat menentukan bagi mereka, berkurang sedikit saja maka mereka akan uring-uringan bermain atau malah menolak untuk tampil. Cerita ini saya peroleh dari seorang artis legendaris kita yang kecewa melihat generasi muda dengan sikap arogan. "Mereka lupa bahwa semua itu berasal dari Tuhan dan bukan karena kehebatan mereka." katanya.
Ingatkah anda sebuah novel roman yang sangat terkenal dari tahun 1930an berjudul "Anak Perawan Di Sarang Penyamun"? Sebuah masterpiece karaya Sutan Takdir Alisjahbana ini tidak lekang di telan jaman. Secara tidak sengaja hari ini saya melihat novel itu dijual secara online dan saya pun teringat lagi dengan kisah penuh romantika di tengah buasnya hutan belantara. Seperti apa rasanya berada di tengah sarang penyamun? Tentu itu bukanlah tempat yang favorit bagi kita. Alkitab beberapa kali menyebutkan kata sarang penyamun pula, yang mengacu kepada sikap yang dimiliki bukan oleh orang asing, tetapi justru oleh orang-orang percaya sendiri.
Kegiatan memaku dinding bisa jadi salah satu kegiatan yang gampang-gampang susah, apalagi jika memang kita bukan ahli pertukangan. Saya pernah dengan semangat ingin memajang foto-foto keluarga di dinding ruang tamu, membayangkan semua akan terpajang dengan rapi dan urutannya sudah saya atur di benak saya. Namun ketika mulai memakukan paku ke dinding, rupanya posisi paku sering meleset beberapa milimeter ato centimeter dari yang seharusnya. Kalau sudah salah posisi, saya terpaksa cabut kembali dan memakukkannya lagi di posisi yang pas. Namun saya menyadari satu hal, bahwa walaupun lubang yang posisinya salah beberapa centimeter tadi akan tertutup dengan pigura fotonya, tapi lubang tersebut sudah terlanjur ada disitu, membuat bekas di tembok. Kita bisa menutupnya dengan kapur tembok, dicat kembali hingga tak berbekas, tapi sebenarnya lubang itu tetap ada. Sekecil apapun paku akan tetap meninggalkan bekas atau lubang di dinding. 
