Memberitakan Firman
Sumber: http://renungan-harian-online.blogspot.com/Ayat bacaan: 2 Timotius 4:2
========================
"Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran."
Sebuah stiker bertuliskan "The way, the truth, the life..Jesus" tertempel di kaca belakang sebuah mobil yang tepat berada di depan saya. Sepanjang kemacetan pun mata saya tertumpu pada stiker yang berukuran cukup untuk bisa dibaca oleh pengendara di belakangnya. Betapa simpelnya, pikir saya, untuk mewartakan Injil seperti ini. Si pemilik hanya menempel sebuah stiker yang menyampaikan firman Tuhan seperti yang tertulis dalam Yohanes 14:6, dan stiker itu akan berbicara banyak kepada siapapun yang melihatnya tanpa memerlukan si pemilik untuk repot-repot menginjili orang secara langsung. Seringkali kita punya ribuan alasan untuk menolak memberitakan kabar gembira kepada orang. Segala keterbatasan pun akan mudah kita berikan. Takut, tidak tahu caranya, tidak mengerti terlalu banyak, tidak pintar ngomong, sudah terlalu sibuk dan lain-lain. Padahal sebuah cara yang sangat sederhana seperti apa yang dibuat pemilik mobil di depan saya pun sebenarnya bisa menjadi sebuah cara untuk menyampaikan firman Tuhan.
12.43
Vincent utomo
Posted in:
Lihatlah televisi hari-hari ini, dan anda akan dengan mudah melihat bagaimana wajah dari sebuah amarah. The face of rage, seperti itu saya gambarkan, akan dengan jelasnya terlihat dalam beragam acara, mulai dari berita-berita tentang demonstrasi, kericuhan, tawuran, perkelahian, atau perdebatan di parlemen bahkan ada banyak pula acara yang memanfaatkan kemarahan dan emosi untuk menarik rating. Intinya, bagaimana memancing kemarahan seseorang atau sekelompok orang, dan ketika muka mereka memanas dan berubah menjadi ganas, ketika mereka mulai mengeluarkan kata-kata yang sangat tidak pantas atau mulai mencoba menyerang secara langsung, disanalah acara itu dianggap menarik. Begitu banyak pola kemarahan yang kita tonton sehari-hari, sehingga bisa-bisa lama kelamaan kita akan berpikir bahwa emosi meledak-ledak itu wajar saja. Dan ada banyak orang yang mengira bahwa mereka bisa membuat wibawa mereka meroket lewat gaya penuh emosi, meledak-ledak dalam kemarahan. Dengan terus menerus membentak atau marah, atau setidaknya memasang wajah dingin, mereka mengira bahwa mereka akan terlihat berkuasa. Seharusnya tidaklah demikian. Kekristenan tidak pernah mengajarkan kita untuk memupuk emosi. We are not to have the face of rage. God never created us for that. 
Lihatlah sebuah kisah nyata yang di alami oleh salah satu keluarga dekat saya. Ia sudah memiliki pekerjaan yang sangat baik sebagai seorang fotografer. Lalu pada suatu hari ada seseorang yang menawarkannya untuk membuka warnet. Ia tertarik dan segera berusaha meminjam uang dari saudaranya. Saudaranya pun menyanggupi dan berjanji untuk meminjam uang dari kantornya untuk dipinjamkan kembali kepada sang adik. Entah apa yang ada di pikiran si adik, mungkin tidak sabar, ia melakukan hal yang ceroboh dengan meminjam terlebih dahulu kepada rentenir. Toh uang pinjaman dari abangnya akan ia dapat segera, begitu mungkin pikirnya. Sekian puluh juta pun ia pinjam, dengan bunga yang hampir mencapai 50%, dan langsung ia pakai untuk merenovasi tempat. Apa yang terjadi selanjutnya sungguh di luar perkiraannya. Si abang tiba-tiba membatalkan bantuannya, karena menurutnya ia gagal mendapatkan pinjaman dari kantor. Sementara uang dari rentenir sudah terlanjur dipakai. Akibatnya ia pun kelabakan, terpaksa menjual kamera dan segala miliknya untuk menutupi uang pinjaman dari rentenir, itu pun cuma sanggup untuk melunasi sebagian bunga saja. Hingga hari ini ia masih terlilit masalah hutang ini. Sungguh tragis, ketika ia tadinya memiliki pekerjaan yang sukses, namun karena terburu-buru mengambil keputusan dalam berhutang maka dalam sekejap hidupnya menjadi kacau. 

Ingatkah anda pada pepatah klasik yang mengatakan "no man is an island?" Kata bijak yang ditulis oleh John Donne pada tahun 1624 ini mengacu kepada jati diri manusia yang memang diciptakan bukan untuk hidup terisolasi sendirian melainkan untuk hidup berpasangan, berkelompok atau berkomunitas. Sudah menjadi sifat dasar manusia untuk hidup membangun hubungan dengan orang lain. Hidup dalam lingkungan, komunitas, pertemanan dan tentu saja berpasangan. Sulit sekali membayangkan jika harus menjalani hidup sendirian, totally alone, karena kita memang merupakan mahluk sosial yang harus saling terhubung satu sama lain untuk bisa hidup dengan lebih baik.
Seorang teman di sebuah situs jejaring maya menulis di statusnya: "Katanya, wanita mengeluarkan kata-kata 16000-21000 per hari secara rata-rata, sedangkan laki2 hanya 5000-9000. Waduh, kebayang deh nanti setiap kata yang kita ucapkan akan diminta pertanggung jawabannya. Tiap hari, mana yang kira-kira yang mendominasi perkataan kita, kebaikan/keburukan?" Dia benar. Jika ada sebanyak itu kata-kata yang diucapkan setiap hari secara rata-rata, maka besar kemungkinan ada beberapa atau bahkan mungkin banyak dari jumlah itu yang berisikan hal-hal buruk. Gosip, hujatan, hinaan, cercaan, makian, kata-kata negatif, kebohongan, semua itu bagaikan kebiasaan yang mengisi perkataan kita setiap hari. Sebagai pria, mungkin saya bisa beranggapan bahwa saya relatif lebih tenang, karena jumlah kata-kata yang keluar dari pria "hanya" sepertiga dari wanita. Tapi bukankah jumlah itu pun sudah sangat banyak? Dalam sehari saja sudah begitu, bagaimana jika dikalikan jumlah hari dalam hidup kita? Perkataan yang keluar dari mulut kita seringkali tidak kita perhatikan. Kita sibuk menjaga perilaku kita, tidak korupsi, tidak curang dalam bekerja atau berdagang, tidak menyakiti orang lain secara fisik, tetapi lupa bahwa ucapan-ucapan yang keluar dari mulut kita pun tidak terlepas dari pertanggungjawaban kita nanti.
